Entri Populer

Selasa, 18 Januari 2011

KALIAN SELAMAT DUNIA-AKHERAT DAN BISA MASUK SURGA


1. Firman ALLAH dalam QS Ali Imran :85
“Barang siapa mencari agama selain dari Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi.
2. Sabda Nabi (Lihat Shahih Muslim)
“Demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNYA, tidak ada seorangpun dari ummat manusia yang mendengarkerasulanku baik dia itu seorang yahudi maupun nasrani lalu mati dalam keadaan belum beriman pada ajaran yang kubawa melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka.”
3. Refer juga pada kisah ketika Rasulullah sangat marah ketika Umar Radhiallaahu’anhu memegang suhuf ayat2 dari kitab Taurat.
Nabi menegur Umar “…. Sekiranya saudaraku Musa ‘alaihi salam hidup sekarang ini maka tidak ada keluasaan baginya kecuali mengikuti syari’atku”
(HR Ahmad, Ad-Darimi dll).
Lantas jika ada yang bertanya, bukankah banyak orang non-muslim yang telah berjasa bagi manusia spt yg dilakukan Bunda Teressa dll? Apakah mereka juga dineraka?
Jawab:
Benar, mereka telah memberi kontribusi besar dalam hubungan sesama manusia. Tetapi harus dipahami bahwa manusia memiliki 2 kewajiban, yaitu kewajiban antar seama manusia dan kewajiban terhadap ALLAH.
Ketahuilah bahwa kewajiban manusia terhadap ALLAH ini jauh lebih besar dan penting dan kewajiban inilah yang banyak diabaikan manusia.
Bagi yang berbuat syirik atau non muslim, meskipun mereka beramal maka amal mereka hangus tidak diterima ALLAH. (Dalilnya bisa lihat dalam AL-Qur’an). Dan balasan atas kebaikan mereka thdp sesama manusia disegerakan pembalasannya oleh ALLAH didunia ini.
Bagaimana halnya dengan kaum yang dakwah belum pernah sampai kpd mereka?
Para Ulama menjelaskan, bahwa diakhirat kelak mereka akan dibangkitkan ALLAH kemudian diberikan beberapa ujian untuk penentuan tempat bagi mereka.
Salah satu Sifat ALLAH adalah Maha Adil.
ALLAH lebih adil dari siapapun yang merasa paling adil. Sehingga tidak ada sedikut alasan bagi mereka yang ingin bersu’udzan kepada ALLAH.
Wallaahu’alam.

18 Tanggapan



  1. Apakah Surga Hanya Milik Orang Islam?
    Tidak seperti ajaran sesat versi aktifis Islam liberal,
    dalam pandangan yang benar dan selamat, bahwa
    seorang yang tidak pernah menyatakan diri masuk
    Islam, tidak mungkin masuk surga. Meski pun dia
    berbuat baik jauh melebihi perbuatan baik seorang
    nabi sekalipun. Namun semua itu akan menjadi sia-
    sia tanpa arti bila tidak pernah mengesakan Allah
    SWT dan tidak pernah mengakui kenabian
    Muhammad SAW.
    Siapa yang memungkiri jasa dan kebaikan Abu
    Thalib, paman nabi tercinta? Bukankah dia siap
    berpalang dada tatkala kafir Quraisy ingin
    membunuhnya? Bukankah nabi Muhammad SAW
    sejak kecil telah dipeliharanya, diasuh, disayangi
    dan diajarkan berdagang? Bukankah Abu Thalib
    menyayangi Muhammad SAW lebih dari anak-
    anaknya sendiri?
    Namun seribu kali sayang, seorang yang
    sedemikian dekat pada diri manusia paling mulia,
    ditakdirkan oleh Allah SWT untuk tidak sampai
    mengucapkan dua kalimat syahadat. Hingga nafas
    terakhir dihembuskan, Abu Thalib tidak sempat
    merasakan manisnya iman. Hingga dalam sebuah
    riwayat disebutkan bahwa dia masuk neraka,
    namun dengan siksa yang paling ringan.
    Kalau seorang Abu Thalib yang menjadi kecintaan
    nabi Muhammad SAW sekalipun tidak bisa masuk
    surga, apalagi orang kafir yang jelas-jelas ingkar
    kepada Allah dan ingkar Nabi SAW. Di mana
    lidahnya belum pernah menyatakan ikrar atas
    kenabian Muhammad SAW dan membenarkan
    risalah Islam yang dibawanya. Semua amalnya itu
    hanya akan melahirkan kesia-siaan belaka.
    …Mereka itu tidak beriman, maka Allah
    menghapuskan amalnya. Dan yang demikian itu
    adalah mudah bagi Allah. (QS Al-Ahzab: 19)
    Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya
    mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah
    lalu Allah menghapuskan amal-amal mereka. (QS
    Muhammad: 9)
    Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya
    mereka mengikuti apa yang menimbulkan
    kemurkaan Allah dan karena mereka membenci
    keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus amal-
    amal mereka.(QS Muhammad: 28)
    Dalam masalah ini, sekedar mengerjakan hal-hal
    yang bernilai Islami tapi tanpa mengakuan atas
    kebenaran Islam serta tanpa mengakui dirinya
    sebagai muslim, tidak akan berguna. Sama saja
    seperti seorang pandir yang setiap hari masuk ke
    kantor yang bukan tempat kerjanya. Setiap hari dia
    datang pagi-pagi, melakukan berbagai aktifitas
    seolah dia adalah pegawai di kantor itu. Padahal
    dia belum pernah mengajukan lamaran dan
    namanya tidak terdaftar di dalam kantor itu sebagai
    pegawai. Di akhir bulan, saat orang-orang
    mendapat gaji, dia protes karena tidak mendapat
    gaji. Padahal dia sudah merasa tiap hari masuk
    kantor dari pagi hingga petang. Tentu semua itu
    salahnya sendiri. Bagaimana mungkin orang yang
    tidak pernah diangkat jadi pegawai di suatu kantor
    dan tidak pernah ada keterikatan apapun, tiba-tiba
    minta gaji?
    Demikian juga dengan orang-orang non muslim,
    biar segala macam amal kebaikan telah
    dilakukannya, namun tanpa ada keterikatan formal
    sebagai muslim, maka semua amalnya itu tidak
    akan membuatnya menjadi penghuni surga. Meski
    dia menangis sejadi-jadinya. Semua itu salah dia
    sendiri.
    Kalau dikatakan bahwa surga itu milik umat Islam
    saja, maka pernyataan itu 100% benar. Hanya
    orang yang salah kaprah dan rusak fikrahnya saja
    yang merasa bahwa orang kafir bisa masuk surga.
    Bagaimana Allah akan memasukkannya ke surga,
    padahal dia tidak pernah mengakui Allah SWT
    sebagai tuhan, tidak pernah mengakui Muhammad
    SAW sebagai utusan tuhan, tidak pernah mengakui
    Al-Qur’an sebagai wahyu tuhan dan tidak pernah
    meyakini hari kiamat?
    Orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami
    dan adalah mereka dahulu muslimin. Masuklah
    kamu ke dalam surga, kamu dan isteri-isteri kamu
    digembirakan.” Diedarkan kepada mereka piring-
    piring dari emas, dan piala-piala dan di dalam
    surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati
    dan sedap mata dan kamu kekal di dalamnya.” Dan
    itulah surga yang diwariskan kepada kamu
    disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.
    (QS Az-Zukhruf: 69-72)
    Kalau mau masuk surga, masuk dulu ke agama
    Islam. Tapi kalau tidak mau masuk Islam, silahkan
    buat sendiri surga-surgaan dalam alam khayal
    masing-masing. Sebab di dalam keyakinan seorang
    muslim sejati, hanya dengan menjadi seorang
    muslim sajalah kita bisa mendapatkan ridha dari
    Tuhan. Karena satu-satunya agama yang diridhai
    hanyalah agama Islam. Selain Islam, mohon maaf
    deh…
  2. Benarkah Semua Agama itu Sama saja?
    Kampanye yang intinya menyamakan semua agama
    adalah kampanye yang menyesat-kan. Para
    penyerunya adalah orang-orang yang telah
    kehilangan hidayah dari Allah SWT. Dan kampanye
    seperti ini sudah dapat dipastikan akan ditolak
    mentah-mentah bukan saja umat Islam, namun
    oleh semua pemeluk agama, terutama oleh para
    tokoh agama masing-masing.
    Sepanjang sejarah belum pernah ada tokoh yang
    representatif yang mewakili sebuah agama apapun
    di dunia ini yang menyerukan kampanye tersebut.
    Kalau pun ada, mereka itu umumnya bukan
    pemeluk suatu agama yang taat, bahkan cenderung
    termasuk kalangan yang terbuang dan nilai
    keagamaannya dipertanyakan.Kampanye
    tentang ’semua agama adalah sama’ hampir tidak
    ada bedanya dengan kampanye atheisme yang anti
    Tuhan. Bahkan pada hakikatnya keduanya sama-
    sama merupakan kampanye anti tuhan, anti agama
    dan anti tauhid. Umat manusia sebenarnya tidak
    butuh dengan kampanye seperti itu, karena akan
    menghilangkan identitas semua agama. Dan pada
    gilirannya akan menghilangkan jati diri manusia itu
    sendiri.
    Kalau esensi kampanye seperti itu kita terapkan
    pada sistem bernegara, maka kampanye itu
    menafikan keberadaan semua negara yang ada di
    dunia, menafikan semua eksistensi pemerintahan
    resmi di semua negara, bahkan menafikan
    keberadaan bangsa-bangsa di dunia ini.
    Menyamakan semua agama sama saja dengan
    menafikan eksistensi semua agama yang ada.
    Padahal masing-masing agama punya identitas,
    ciri, keunikan dan kekhasan sendiri-sendiri yang
    sangat tidak mungkin untuk disamakan begitu saja.
    Kalau hanya ingin menyerukan agar para pemeluk
    agama saling hidup rukun dan damai, tentu tidak
    perlu sampai menghilangkan identitas semua
    agama dengan cara menganggap semuanya sama.
    Pada hakikatnya, semua ajaran agama telah
    memastikan bahwa hidup rukun dengan sesama
    pemeluk agama adalah prisip yang harus dianut.
    Masing-masing agama punya sembahan yang
    identitasnya saling berbeda satu dengan yang lain.
    Punya ajaran yang juga saling berbeda, punya
    syariat yang juga saling berbeda, punya tata ibadah
    ritual yang berbeda, punya persepsi sendiri-sendiri
    tentang konsep hidup, manusia, akhirat, surga dan
    neraka. Dan semua itu sudah berjalan selama
    ribuan tahun di muka bumi. Tiba-
    tiba muncul pemikiran bahwa semua agama adalah
    sama, dimana para penyerunya bagai orang mimpi
    di siang bolong, ngelantur serta terlalu mengada-
    ada. Bagaimana mungkin seruan aneh itu bisa
    diterima umat manusia?
    Sebelum mengatakan bahwa semua agama adalah
    sama, mengapa para penyerunya tidak
    mengatakan saja bahwa semua warna benda-
    benda di dunia ini sama?
    Mengapa tidak mengatakan bahwa kapitalisme,
    sosialisme, atheisme, komunisme dan semua
    bentuk isme di muka bumi ini juga sama?.
    Semua agama adalah sama, adalah sebuah ide
    kosong yang rapuh konsepnya. Tidak jelas teorinya
    dan tidak ada tokoh besar yang menerimanya.
    Tidak ada bukti kebenaran teorinya. Sayang sekali
    bila masih ada saja orang tertipu olehnya.
    Maka anda tidak perlu bingung dengan mengikuti
    ide serendah seperti itu.
    sesungguhnya agama yang diterima disisi Allah hanyalah islam
  3. Apakah hanya umat islam yang masuk surga?
    Menurut ajaran islam pada dasarnya memang hanya umat islam saja yang akan masuk surga, sedangkan orang-orang yang menolak untuk memeluk agama islam akan masuk neraka.
    Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:
    “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya! Tidaklah mendengar dariku seseorang dari umat ini baik orang Yahudi maupun orang Nashrani, kemudian ia mati dalam keadaan ia tidak beriman dengan risalah yang aku bawa, kecuali ia menjadi penghuni neraka.”
    Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya no. 153 dan diberi judul bab oleh Al-Imam An-Nawawi “Wujubul Iman bi Risalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ila Jami’in Nas wa Naskhul Milali bi Millatihi” (Wajibnya seluruh manusia beriman dengan risalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terhapusnya seluruh agama/ keyakinan yang lain dengan agamanya).
    Meskipun orang-orang non-islam berbuat berbagai kebaikan di dunia, tetapi di akherat nanti semua akan sia-sia dan tidak bisa membuat mereka masuk surga jika mereka tidak memeluk agama islam.
    Al-Quran menegaskan, bahwa amal perbuatan orang-orang kafir itu laksana fatamorgana.
    “Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.” (QS an-Nuur:39).
    Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS Al Furqon: 23)
    Menurut tafsir, yang dimaksud dengan amal mereka disini ialah amal-amal mereka yang baik-baik yang mereka kerjakan di dunia. Amal-amal itu tak dibalasi oleh Allah karena mereka tidak beriman.
    Agama Islam lah yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Dia tidak menerima agama selainnya:
    “Sesungguhnya agama (yang diterima) di sisi Allah adalah agama Islam.” (Ali Imran: 19)
    “Siapa yang mencari agama selain agama Islam maka tidak akan diterima agama itu darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
    Agama Islam adalah kebenaran mutlak, adapun selain Islam adalah kekufuran. Siapa pun yang enggan untuk beragama dengan Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia kafir.
    “Laknat Allah atas kaum Yahudi dan Nashrani.” (HR. Al-Bukhari no. 435 dan Muslim no. 531)
  4. Kode Etik Pergaulan Dengan Non Muslim (sikap islam terhadap orang kafir) – keras atau lembut?!
    Tulisan di bawah ini merupakan butir-butir penjelasan dari Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid tentang kode etik dan adab berinteraksi dengan non muslim. Kami memandang perlu untuk menerbitkannnya karena masih ada sebagian kaum muslimin yang terlalu “longgar” dalam bergaul dengan non muslim hingga melampaui batas-batas syara’ , dan sebaliknya ada yang terlalu “ketat” hingga bersikap zhalim terhadap mereka. Padahal Islam mengajarkan sikap pertengahan dan adil. Berikut ini penjelasan beliau :
    Al-Hamdulillah, segala puji hanya bagi Allah, (prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam berinteraksi dengan non muslim) adalah:
    1. Islam adalah agama rahmat dan agama keadilan.
    2. Kaum muslimin diperintahkan untuk mendakwahi kalangan non muslimin dengan cara yang bijaksana, melalui nasihat dan diskusi dengan cara yang terbaik. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
    “Janganlah engkau berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang terbaik, kecuali orang-orang yang zhalim di antara mereka..”
    3. Agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
    “Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imrân : 85)
    4. Kaum muslimin harus memberi kesempatan kepada orang-orang non muslim untuk mendengar firman Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
    “Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” (at-Taubah: 6)
    5. Kaum muslimin harus membedakan antara masing-masing non muslim dalam pergaulan; yaitu membiarkan mereka yang bersikap membiarkan kaum muslimin (tidak memerangi), memerangi mereka yang memerangi, dan menghadapi yang sengaja menghalangi tersebarnya dakwah Islam di muka bumi.
    6. Sikap kaum muslimin terhadap non muslim dalam soal cinta kasih dan kebencian hati, didasari oleh sikap mereka terhadap Allah subhanahu wata’ala. Karena orang-orang non muslim itu tidak beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan menyekutukan-Nya dengan sesuatu, menyimpang dari agama Allah subhanahu wata’ala dan membenci kebenaran (Islam), maka kaum muslimin juga harus membenci mereka.
    7. Kebencian hati bukan berarti bersikap menzhalimi, dalam kondisi apapun. Karena Allah subhanahu wata’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallahu ‘alaihi wasallam tentang sikap yang wajib terhadap Ahli Kitab,
    “(Dan katakanlah), “Aku diperintahkan untuk berbuat adil di antara kalian; Allah adalah Rabb kami dan Rabb kalian, bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian.” (asy-Syûra : 15)
    Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang Muslim, sementara mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani.
    8. Kaum muslimin harus berkeyakinan, bahwa dalam kondisi bagaimana pun, seorang muslim tidak boleh bersikap zhalim terhadap non muslim. Sehingga tidak boleh menganiaya mereka, menakut-nakuti (menteror) mereka, menggertak (mengintimidasi) mereka, mencuri harta mereka, mencopetnya, tidak boleh bersikap curang terhadap hak mereka, atau mengkhianati amanah mereka, tidak boleh tidak membayar upah mereka, membayar kepada mereka harga barang jualan mereka kalau kita membelinya dari mereka, dan membagi keuntungan dalam usaha patungan dengan mereka.
    Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
    “Dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu.Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali”. (asy-Syûra : 15)
    9. Kaum muslimin harus berkeyakinan bahwa seorang muslim harus menghormati perjanjian yang dilakukan antara dirinya dengan orang non muslim. Kalau ia sudah setuju dengan persyaratan yang mereka ajukan, misalnya untuk masuk negara mereka dengan visa, dan ia sudah berjanji untuk menaati perjanjian tersebut, maka ia tidak boleh merusaknya, tidak boleh berkhianat atau memanipulasi, membunuh atau melakukan perbuatan merusak lainnya. Demikian seterusnya.
    10. Kaum muslimin harus berkeyakinan bahwa kalangan non muslim yang memerangi mereka, mengusir mereka dari negeri mereka dan menolong orang-orang itu memerangi kaum muslimin, boleh dibalas untuk diperangi.
    11. Kaum muslimin harus berkeyakinan bahwa seorang muslim boleh berbuat baik kepada orang non muslim dalam kondisi damai, baik dengan bantuan finansial, memberi makan kepada mereka yang kelaparan, memberi pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, menolong mereka dalam perkara-perkara yang mubah (boleh), berlemah-lembut dalam tutur kata, membalas ucapan selamat mereka (yang tidak terkait dengan akidah, seperti selamat belajar, selamat menikmati hidangan dll), dan lain sebagainya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
    “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8)
    12. Kaum muslimin hendaknya tidak menahan diri untuk bekerjasama dengan kalangan non muslim dalam melaksanakan berbagai kebajikan, memberantas kebatilan, menolong orang yang dizhalimi, memberantas segala bahaya terhadap kemanusiaan seperti perang melawan sampah, menjaga keamanan lingkungan, memperoleh barang bukti dan memberantas penyakit-penyakit menular, dan lain-lainnya.
    13. Kaum muslimin harus meyakini bahwa ada perbedaan antara muslim dengan non muslim dalam beberapa ketentuan hukum, seperti warisan, pernikahan, perwalian dalam nikah, masuk kota Mekkah dan lain-lain. Semua hukum tersebut dijelaskan dalam buku-buku fikih Islam. Kesemuanya itu didasari oleh perintah-perintah dari Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga tidak mungkin disamaratakan antara orang yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala semata, dan tidak menyekutukan Allah subhanahu wata’ala dengan segala sesuatu, dengan orang yang kafir kepada Allah saja, dan dengan orang yang kafir kepada Allah subhanahu wata’ala dan menyekutukan-Nya dengan sesuatu, lalu berpaling dari agama Allah subhanahu wata’ala yang benar.
    14. Kaum muslimin diperintahkan untuk berdakwah mengajak ke jalan Allah subhanahu wata’ala di seluruh negri-negri Islam dan di negeri-negeri lain. Mereka harus menyampaikan kebenaran kepada semua orang, mendirikan masjid-masjid di berbagai penjuru dunia, dan mengirimkan para da’i ke tengah masyarakat non muslim, serta mengajak berdialog dengan para pemimpin mereka untuk masuk ke dalam agama Allah subhanahu wata’ala.
    15. Kaum muslimin harus berkeyakinan bahwa kalangan non muslim, baik yang beragama samawi atau non samawi adalah sama-sama tidak benar. Oleh sebab itu, kaum muslimin tidak boleh mengizinkan mereka untuk menyebarkan para misionaris mereka, atau membangun tempat ibadah mereka di lingkungan kaum muslimin. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
    “Maka apakah orang yang beriman sama seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama”. (as-Sajdah:18)
    Barangsiapa yang mengira bahwa Islam itu sama saja dengan agama-agama lain, maka ia keliru besar. Para ulama membuka pintu dialog dengan kalangan non muslim. Mereka juga memberikan kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pandangan dengan orang-orang kafir, serta bersedia menjelaskan kebenaran kepada mereka. Sebagai penutup, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
    “Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (Ali ‘Imrân: 64)
    Demikian juga firman Allah subhanahu wata’ala,
    “Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.” (Ali ‘Imrân:110).
    Sumber: Soal-jawab Keislaman, http://www.islam-qa.com dengan beberapa penambahan dan penyesuaian bahasa
    http://www.alsofwah.or.id
  5. Sikap umat islam terhadap umat non islam (Hak-Hak Non Muslim menurut syariat islam)
    Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah (mantan mufti kerajaan Arab Saudi-red) ditanyai:
    Apa kewajiban seorang muslim terhadap non muslim, baik statusnya sebagai Dzimmi di negeri kaum Muslimin atau ia berada di negerinya sendiri dan si Muslim yang tinggal di negerinya? Kewajiban yang saya maksud untuk dijelaskan di sini adalah bagaimana interaksi dengannya dari segala aspeknya, mulai dari memberi salam hingga ikut merayakan hari besarnya. Mohon pencerahan, semoga Allah subhanahu wata’ala membalas kebaikan buat anda!
    Beliau menjawab:
    Kewajiban seorang Muslim terhadap non muslim ada beberapa bentuk, di antaranya:
    1. Berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala, yaitu dengan menyerunya kepada Allah dan menjelaskan hakikat Islam kepadanya semampu yang dapat ia lakukan dan berdasarkan ilmu yang ada padanya, sebab hal ini merupakan bentuk kebaikan yang paling agung dan besar yang dapat diberikannya kepada warga negara sesamanya dan etnis lain yang berinteraksi dengannya seperti etnis Yahudi, Nashrani dan kaum Musyrikin lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
    “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti (pahala) pelakunya.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, III, no.1506; Abu Daud, no.5129; at-Turmudzi, no.2671 dari hadits Abu Mas’ud al-Badri radhiyallahu ‘anhu)
    Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Khaibar dan memerintahkannya menyeru orang-orang Yahudi kepada Islam,
    “Demi Allah, sungguh Allah mem-beri hidayah kepada seorang laki-laki melalui tanganmu adalah lebih baik bagimu daripada onta merah (harta paling berharga dan bernilai kala itu-red).” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari, III:137; Muslim, IV:1872 dari hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu)
    Dalam sabda beliau yang lain,
    “Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (Dikeluarkan oleh Muslim, IV: 2060; Abu Daud, 4609; at-Turmudzi, 2674 dari jalur Isma’il bin Ja’far, dari al-’Ala’ bin ‘Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
    Jadi, dakwahnya kepada Allah subhanahu wata’ala, penyampaian Islam dan nasehatnya dalam hal tersebut termasuk sesuatu yang paling penting dan bentuk pendekatan diri kepada Allah subhanahu wata’ala yang paling utama.
    2. Tidak berbuat zhalim terhadap jiwa, harta atau pun kehormatannya bila ia seorang Dzimmi (non muslim yang tinggal di negri kaum muslimin dan tunduk kepada hukum Islam serta wajib membayar jizya), atau Musta’man(non muslim yang mendapatkan jaminan keamanan) atau pun Mu’ahid (non muslim yang mempunyai perjanjian damai). Seorang Muslim harus menunaikan haknya (non Muslim) dengan tidak berbuat zhalim terhadap hartanya baik dengan mencurinya, berkhianat atau pun berbuat curang. Ia juga tidak boleh menyakiti badannya dengan cara memukul atau pun membunuh sebab statusnya adalah sebagai seorang Mu’ahid, atau dzimmi di dalam negeri atau Musta’man yang dilindungi.
    3. Tidak ada penghalang baginya untuk bertransaksi jual beli, sewa dan sebagainya dengannya. Berdasarkan hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pernah membeli dari orang-orang kafir penyembah berhala dan juga membeli dari orang-orang Yahudi. Ini semua adalah bentuk mu’amalah (transaksi). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau masih menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi untuk keperluan makan keluarganya.
    4. Tidak memulai salam dengannya tetapi tetap membalasnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Janganlah memulai salam dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani.” (HR.Muslim, IV:1707 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
    Dalam sabdanya yang lain, “Bila Ahli Kitab memberi salam kepada kamu, maka katakanlah: ‘Wa’alaikum.’ Muttafaqun alaih (HR. al-Bukhari, IV:142; Muslim, IV:1706 dari hadits Abdullah bin Dinar, dari Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
    Jadi, seorang Muslim tidak memulai salam dengan orang kafir akan tetapi kapan orang Yahudi, Nashrani atau orang-orang kafir lainnya memberi salam kepadanya, maka hendaknya ia mengucapkan, Wa’alaikum. Sebagai-mana yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini termasuk hak-hak yang disyari’atkan antara seorang Muslim dan orang kafir.
    Hak lainnya adalah bertetangga yang baik. Bila ia tetangga anda, maka berbuat baiklah terhadapnya, jangan mengusik-nya, boleh bersedekah kepadanya bila ia seorang yang fakir. Atau boleh memberi hadiah kepadanya bila ia seorang yang kaya. Boleh pula menasehatinya dalam hal-hal yang bermanfa’at baginya sebab ini bisa menjadi motivator ia berhasrat untuk mengenal dan masuk Islam. Juga, karena tetangga memiliki hak yang agung sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jibril senantiasa berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga hingga aku mengira ia akan memberikan hak waris kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
    Juga sebagaimana makna umum dari firman Allah subhanahu wata’ala, artinya:
    “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.al-Mumtahanah:8)
    Dan dalam hadits yang shahih dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha, bahwa Ibundanya datang kepadanya saat ia masih musyrik di masa perundingan damai yang terjadi antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan penduduk Mekkah, ibundanya datang kepadanya meminta bantuan, lantas Asma’ meminta izin terlebih dahulu kepada Nabi mengenai hal tersebut; apakah ia boleh menyambung rahim dengannya? Maka, Nabi pun bersabda, “Sambunglah rahim dengannya.” (al-Bukhari, II:242; Muslim, II:696 dari hadits Asma’ radhiyallahu ‘anha)
    Namun begitu, seorang Muslim tidak boleh ikut serta merayakan pesta dan hari besar mereka. Tetapi tidak apa-apa melawat jenazah mereka bila melihat ada kemashlahatan syari’at dalam hal itu seperti dengan mengucapkan, “Semoga Allah subhanahu wata’ala mengganti musibah yang kamu alami ini” atau “Semoga Dia mendatangkan pengganti yang baik buatmu,” dan ucapan baik semisal itu.
    Hanya saja, tidak boleh mengucapkan, “Semoga Allah subhanahu wata’ala mengampuninya” atau “Semoga Allah merahmatinya” bila ia seorang kafir. Artinya, tidak boleh berdoa untuk si mayit tetapi boleh berdoa untuk orang yang masih hidup agar mendapat hidayah, mendapat pengganti yang shalih dan semisal itu.
  6. Suara rakyat BUKAN Suara Tuhan (vox populi bukan vox dei)
    Bukti bahwa suara mayoritas rakyat bukanlah suara Tuhan:
    1. Mayoritas umat manusia pada zaman nabi Nuh AS menentang dakwah nabi Nuh AS, akhirnya mereka dihancurkan tuhan dengan banjir besar, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
    2. Mayoritas umat manusia pada zaman nabi Isa AS menentang dakwah nabi Isa AS, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
    3. Mayoritas umat manusia pada zaman nabi Muhammad SAW menentang dakwah nabi Muhammad SAW, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
    4. Dalam pemilu 1955, mayoritas rakyat indonesia memilih partai sekuler, padahal orang yang punya sedikit ilmu saja sudah bisa tahu bahwa sekulerisme bertentangan dengan ajaran Tuhan, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
    5. Mayoritas penduduk dunia saat ini adalah kafir, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
    6. Diberbagai negara yang penduduknya muslim, banyak partai sekuler yang menang pemilu, padahal partai sekuler menolak pemberlakuan hukum islam secara total di negara, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
    7. Banyak sekali orang yang berbuat maksiat dan dosa di muka bumi ini, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
    ====================================
    Allah telah menyebutkan ayat-ayat yang menunjukkan celaan terhadap banyaknya jumlah dan mayoritas. Allah berfirman :
    “Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al Baqarah : 243)
    “Tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari(nya).” (Al Isra’ : 89)
    “Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman.” (QS. Al Ghafir : 59)
    “Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf : 103)
    “Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf : 40)
    “Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu.” (QS. Az Zukhruf : 78)
    “Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf : 106)
    “Katakanlah : ‘Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al Ankabut : 63)
    Dan ayat-ayat yang seperti ini masih banyak sekali.
    =======================================
    DEMOKRASI BERTENTANGAN DENGAN AJARAN ISLAM
    Menurut pencetus dan pengusungnya, demokrasi adalah pemerintahan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, -pent). Rakyat pemegang kekuasaan mutlak. Pemikiran ini bertentangan dengan syari’at Islam dan aqidah Islam. Allah berfirman.
    Artinya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. [Al-An'am : 57]
    Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. [Al-Maidah : 44]
    Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah ? [As-Syura : 21]
    Artinya : Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.[An-Nisa : 65]
    Artinya : Dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutuNya dalam menetapkan keputusan.[Al-Kahfi : 26]
    Sebab demokrasi merupakan undang-undang thagut, padahal kita diperintahkan agar mengingkarinya, firmanNya.
    Artinya : (Oleh karena itu) barangsiapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. [Al-Baqarah : 256]
    =========================================
    Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan: “Di antara dalil-dalil menurut kelompok pemerhati Islam yang menunjukkan demokrasi adalah prinsip hasil import dan tidak ada hubungannya dengan Islam, adalah bahwa ia berdasarkan pada suara mayoritas, serta menganggap suara terbanyak merupakan pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan mengendalikan berbagai permasalahan, dan dalam menilai serta memutuskan benar terhadap salah satu dari berbagai masalah yang berbeda-beda dengan meng­gunakan pemungutan suara terbanyak dalam demokrasi sebagai pemutus dan referensi. Maka, pendapat mana pun yang memenangkan suara terbanyak secara absolut, atau terbatas pada beberapa kesempatan, itulah pendapat yang diberlakukan, meskipun terkadang pendapat itu salah dan bathil.
    Padahal Islam tidak menggunakan sarana seperti itu dan tidak mentarjih (mengunggulkan) suatu pendapat atas pendapat yang Iain karena adanya kesepakatan pihak mayoritas, tetapi Islam melihat pada pokok permasalahan tersebut; Apakah ia salah atau benar? Jika benar, maka ia akan memberlakukannya, meskipun bersamanya hanya ada satu suara, atau bahkan sama sekali tidak ada seorang pun yang menganutnya. Jika salah,. maka ia akan menolaknya, meskipun bersamanya terdapat 99 orang dari 100 orang yang ikut.
    Bahkan, nash-nash al-Qur’an menunjukkan bahwa suara mayoritas selalu berada dalam kebathilan dan selalu mengiringi para Thaghut, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala ini:
    “Artinya : Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di­muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya.”[Al-An'aam: 116]
    .
    Juga firman-Nya:
    “Artinya : Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” [Yusuf: 103]
    Di dalam al-Qur’an, dilakukan pengulangan berkali-kali terhadap firman-Nya berikut ini:
    “Artinya : Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [Al-­A'raaf: 187]
    ============================================
    PERBEDAAN SYURA DENGAN DEMOKRASI:
    1. Syura adalah aturan Ilahi sedangkan demokrasi merupakan aturan orang-orang kafir.
    2. Syura dipandang sebagai bagian dari agama sedangkan demokrasi adalah aturan tersendiri.
    3. Di dalam syura ada orang-orang yang berakal yaitu Ahlul Halli wal ‘Aqdi (yang berhak bermusyawarah) dari kalangan ulama, ahli fiqih, dan orang-orang yang mempunyai kemampuan spesialisasi dan pengetahuan. Merekalah yang mempunyai kapabilitas untuk menentukan hukum yang disodorkan kepada mereka dengan hukum syariat Islam. Sedangkan aturan demokrasi meliputi orang-orang yang di dalamnya dari seluruh rakyat sampai yang bodoh dan pandir sekalipun.
    4. Dalam aturan demokrasi semua orang sama posisinya, misalnya : Orang alim dan bertakwa sama posisinya dengan seorang pelacur, orang shalih sama derajatnya dengan orang yang bejat, dll. Sedangkan dalam syura maka itu terjadi akan tetapi semua diposisikan secara proporsional. Allah berfirman :
    “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al Qalam : 35-36)
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    “Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” (QS. As Sajdah : 18)
    ==================================
    Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuatkan rujukan saat terjadi perselisihan dan pertentangan, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy Syura : 10)
    Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam kitab Tafsir-nya tentang ayat ini :
    “Kalian berselisih dalam hal apapun, ini umum pada semua perkara. Maka putusannya terserah kepada Allah maksudnya Dia yang memberi keputusan hukum dengan Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya.”
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ : 59)
    Ibnu Qayyim rahimahullah berkata : “Ini adalah dalil qath’i yang menunjukkan wajibnya mengembalikan semua perselisihan yang terjadi di kalangan manusia dalam perkara agama kepada Allah dan Rasul-Nya tidak kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
    Barangsiapa yang berupaya untuk merujuk kepada selain Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) maka berarti dia menentang perintah Allah dan barangsiapa yang pada saat terjadi perselisihan ia mengajak rujuk kepada selain hukum Allah dan Rasul-Nya maka berarti dia telah mengajak dengan ajakan gaya jahiliah. Dan seseorang tidak dikatakan beriman sehingga ia merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya jika ada perselisihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : ‘Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.’” (QS. An Nisa’ : 59) [Lihat Kitab Risalah Taabuukiyah halaman 29]
    Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak berhukum dengan yang demikian maka berarti dia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
    ==============================
    Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengkategorikan tertipu dengan jumlah yang banyak ini termasuk salah satu kaidah jahiliah. Beliau mengatakan :
    “Sesungguhnya termasuk dari kaidah orang-orang jahiliah adalah tertipu dengan jumlah yang terbanyak dan mereka berdalil dengan jumlah terbanyak tadi untuk menunjukkan sahnya sesuatu, dan mereka juga berdalil untuk menunjukkan bathilnya sesuatu dengan jumlahnya yang sedikit dan aneh.” (Masaa’il Jaahiliyah, masalah nomor 5)
    Bagaimana mungkin memutuskan suatu hukum dengan pendapat mayoritas manusia? Padahal sudah banyak diketahui bahwa mayoritas manusia sepakat di atas kekufuran kepada Allah Sang Pengatur Alam Semesta, sepakat untuk berbuat fajir/dhalim, dan sepakat dalam kebejatan akhlak.
    (Sumber : Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam, Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari http://www.assunnah.cjb.net)

Tidak ada komentar: