Entri Populer

Selasa, 18 Januari 2011

Info

Nasib Merek-merek Kecil di Kontes Best Brand
Thursday, July 21st, 2005
oleh : admin

Mengevaluasi hasil survei tentang merek terbaik di suatu area bukanlah pekerjaan mudah. Definisi best brand sangat terkait dengan permasalahan lain di luar merek itu sendiri. Selain merek yang mudah diingat, sangat aspiratif, unik, lucu, ataupun yang mempunyai karisma, sehingga mempunyai percepatan pertumbuhan yang tinggi, ada hal lain yang perlu diamati. Misalnya, aspek kepuasan pelanggan, kesetiaan pelanggan, kondisi pasar dan termasuk pula aspek kontekstual yang terkait pada isu khusus seperti flu burung, busung lapar, krisis BBM, ramah lingkungan, dan lainnya.
Dalam konteks hasil penelitian merek-merek terbaik versi Majalah SWA, sangatlah jelas bahwa komponen variabel yang dilihat adalah top of mind advertising (TOM ad), TOM brand, dan brand used most often (BUMO), serta korelasinya dengan faktor kepuasan pelanggan. Dari sudut pandang ini tampak bahwa merek-merek besar yang memiliki pangsa pasar tinggi selalu mendominasi di kategorinya masing-masing, seperti sabun mandi Lux, pasta gigi Pepsodent, minuman ringan tidak bersoda Teh Botol Sosro, dan lainnya.
Merek-merek dengan pangsa pasar yang kecil cenderung under represent. Hal ini disebabkan jumlah pemakai merek-merek itu tidak banyak, sehingga akibatnya sampel yang terjaring dari populasi survei ini jumlahnya tidak banyak. Maka, kita semua harus menerima nasib buruk merek-merek kecil yang hanya dapat bermain di pasar ceruk (niche market).
Survei semacam ini memang sangat menguntungkan pemain besar dengan pangsa pasar yang sudah besar. Apalagi biasanya pemain dan merek besar sudah pintar memelihara mereknya agar tetap bertengger sebagai TOM di kategorinya.
Celakalah pemain kecil dengan TOM yang masih kecil, apalagi mereka memiliki dana yang cekak dan ilmu pas-pasan untuk memelihara ataupun mengembangkan mereknya. Sehingga pada waktu survei digelar, para responden pemakai merek tertentu itu pastilah cenderung menyebutkan merek yang mereka kenal karena eksposurnya, atau karena sedang mereka pakai, apalagi merek itu dapat memuaskan kebutuhannya.
Peserta kontes dari kategori merek kecil akan susah sekali mendapatkan skor TOM secara kuantitatif. Terlebih, kepuasan dari populasi yang tidak mengenal merek kecil itu cukup tinggi. Merek kecil akan dianggap dapat memberikan kepuasan, bila dapat membuat heboh atau terobosan sensasi seperti yang pernah dilakukan beberapa tahun silam oleh perusahaan vitamin isap Xon-Ce.
Hal yang lain lagi — terutama dalam kategori personal care (sampo, sabun, pasta gigi, dan sebagainya) — belanja iklan di kategori ini didominasi oleh pemain dan merek besar. Empat sampai lima merek dapat mencakup 80% total belanja iklan kategori ini, dan dapat pula membuat 80% eksposur media. Selain itu, nampaknya terdapat kecenderungan bahwa perolehan TOM ad, TOM brand dan BUMO selalu dinikmati oleh merek yang itu-itu saja. Setelah itu barulah sisanya diperebutkan oleh merek-merek kecil yang lain.
Pagelaran best brand sebaiknya juga mencakup aspek kinerja merek itu sendiri. Contohnya merek yang aspiratif menurut target audiensnya, misalnya The Body Shop yang dapat memikirkan lingkungan dan tidak melakukan animal testing pada produknya, atau Neutrogena yang sangat medicated dan tanpa parfum. Dalam survei semacam ini, kedua merek tadi pasti akan sulit masuk menjadi lima besar, karena pemakainya sangat sedikit dan segmentatif. Padahal kedua merek itu sering dianggap sebagai merek yang berhasil dalam berbagai studi kasus di bangku kuliah.
Alhasil, dari ajang kontes best brand ala SWA dan MARS kali ini tampaknya memang memiliki kelemahan bagi para pemain kecil dengan merek kecil, yang tentunya juga berharap dapat memenangi kontes best brand ini. Semoga pada kesempatan kontes yang akan datang dapat dipikirkan suatu metodologi survei yang dapat memungkinkan fairness buat pemain pemula yang masih kecil dan masih di ceruk yang kecil.
Apa pun hasilnya, paling tidak hasil survei ini dapat mendorong motivasi para peserta kontes di masa mendatang, dan beberapa lesson learned dapat dipetik melalui potret survei yang dihasilkan.

Tidak ada komentar: