Entri Populer

Rabu, 19 Januari 2011

Bangsa Depresi

Thursday, 20 January 2011
TAK banyak orang menyadari, semakin berilmu kita mungkin semakin menderita depresi. Menerima kenyataan atau kebenaran yang ternyata begitu pahit untuk ditelan dan selalu kita pikirkan dapat membuat frustrasi.

Hari-hari ini semua orang berpengetahuan Indonesia,mungkin juga kita, sama-sama merasakan depresi. Kebenaran semakin telanjang di depan mata,namun tak ada daya untuk membongkarnya. Kita menjadi seperti orang yang tak bersyukur: Menerima sudah banyak, tetapi rasanya kok masih terlalu sedikit – memberi baru sedikit,tetapi rasanya sudah besar sekali.Tahu cuma sedikit, rasanya kok sudah hebat sekali.

Kita bisa menjadi bangsa yang depresi karena memikirkan lebih banyak kegagalan daripada kegembiraan atau keberhasilan. Gagal membongkar segala jenis mafia mulai dari pajak, mafia di kejaksaan, sampai mafia di kepolisian. Eh, sekarang malah melebar hingga ke imigrasi.Jalan macet tak terselesaikan, banjir datang terus, sampah bertebaran semakin banyak, bensin semakin mahal, petani tak bisa membeli beras. Bahkan garam dan ikan asin saja harus diimpor. Sepak bola kalah.Politisi hanya memikirkan kantongnya sendiri. Para penjahat dan koruptor tetap dilantik sebagai bupati dan seterusnya.

Melawan Pesimisme

Menurut hemat saya, bangsa Indonesia sedang bergulat melawan kenyataan riil. Pergulatan berat itu justru ada di kalangan terdidik yang justru tahu banyak, kritis, dan mudah membaca hubungan antara satu kejadian dan kejadian lainnya.Kemajuan teknologi, demokrasi, dan keterbukaan informasi telah membuat sebagian besar masyarakat menjadi ”mengerti” dan agak berpengetahuan. Apa masalahnya berpengetahuan? Aha! Ini ada masalah sendiri.

Saya ingin mengajak Anda mengacu pada Lauren Alloy dan Lyn Abramson yang 20 tahun lalu meneliti orang-orang yang mengalami depresi dengan melakukan eksperimen. Mereka berdua menggunakan batu baterai dengan lampu hijau yang dilengkapi alat kontrolnya. Responden dibagi dua kelompok, yaitu kelompok orang-orang yang depresi dan kelompok orang-orang yang sehat (nondepresi). Masalahnya, tombol pengendali tidak dapat bekerja 100%.Kedua kelompok diminta menilai.

Yang menarik perhatian saya, temuan itu bisa disimpulkan secara mengejutkan. Ternyata orangorang yang menderita depresi dapat menyebutkan keadaan secara akurat. Mereka diminta menilai berapa besar kendali yang dimiliki untuk menyalakan lampu. Benar! Mereka jawab 30%. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak menderita depresi? Mereka menjawab agak ngawur. Sebagian besar bilang sebaliknya, nyala lampu itu dapat dikendalikan 70%.

Apa kesimpulannya?

Saat itu sebagian ahli berpendapat orang-orang yang bahagia adalah terdiri atas kaum bodoh. Begitu bahagianya mereka sampaisampai mereka kehilangan daya nalar dan tidak kritis. Mereka bicara tidak apa adanya, melainkan melebih-lebihkan.Sebaliknya,mereka yang depresi ternyata lebih realistis.Tetapi, nanti dulu. Kajian lain terhadap hasil eksperimen ini ternyata berbicara lain.

Justru karena seseorang kritislah,ia akan selalu mengulang-ulang fakta-fakta yang benar, dan yang lebih mengerikan fakta-fakta yang diingatnya itu adalah fakta-fakta yang negatif. Sementara yang negatif itu terus-menerus terjadi berulang- ulang, tidak terpecahkan. Tetapi, oleh kelihaian berkomunikasi para pemangku kepentingan, fakta-fakta negatif itu ditutup dan diabaikan. Orang-orang yang depresi ditemukan lebih realistis dan lebih sedih.

Mereka mengingat semua janji-janji yang tidak dipenuhi dan kejadian-kejadian yang memilukan. Walau menagih,mereka tidak mendapatkan jawaban dan harapan yang sudah diberikan.Tetapi, mereka ingat semua secara akurat. Dalam beberapa hal mereka yang depresi terpenjara oleh lamunan sedihnya, mereka terpenjara oleh masa lalu sehingga menjadi pesimistis terhadap masa depannya. Sebaliknya, orang-orang yang terlihat bahagia terdiri atas orangorang yang kurang realistis.

Mengapa seperti itu? Saya jadi ingat ucapan temanteman saya, para akademisi hebat yang beberapa kali sempat menegur. Mereka mengatakan sinisme dan pesimisme adalah cerminan dari pikiran yang kritis. ”Kalau Anda optimistis dan baik,Anda tidak kritis,” ujar orang-orang hebat itu. Tetapi, masalahnya, sebagian orang bahkan tak bisa membedakan sinisme dengan kritis.

Sinis diartikan sama dengan kritis. Walah! Ini tentu keliru besar.Orangorang yang kritis mungkin bisa menjadi sinis,tetapi terus-menerus sinis adalah penyakit kejiwaan. Lantas bagaimana bisa orangorang yang terlihat bahagia menjadi tidak realistis? Temuan berbagai studi menunjukkan, orangorang yang berbahagia adalah orang yang mudah melupakan kesedihan dan kesusahan.

Mereka tidak mau menyimpan informasi buruk terlalu lama dalam benak mereka. Maka jangan heran kalau melihat orang-orang tertentu yang merasa bisa melakukan sesuatu yang lebih besar dari kemampuannya. Di Amerika Serikat ditemukan, 80% pengendara di jalan merasa kemampuan mengemudi mereka berada di atas rata-rata, dan 90% mahasiswa peserta program MBA merasa kehebatan mereka setara dengan kehebatan para CEO terkenal.

Kesimpulan sementara, orangorang yang optimistis memang berasal dari kelompok orang yang berbahagia. Mereka yang pandangan hidupnya bahagia ini ternyata ”Mengingat lebih banyak peristiwa yang menyenangkan daripada yang sebenarnya terjadi,” kata Martin Selligman, bapak psikologi positif. Mereka cenderung melupakan peristiwa-peristiwa buruk.

Tyranny of The ”OR”

Pesimisme tentu saja tidak baik.Tetapi, kebohongan jelas lebih tidak baik. Negeri ini butuh orang-orang kritis yang optimistis. Kalau kita mendikotomikan keduanya (”optimistis, tetapi tidak benar” atau ”pesimistis, tetapi realistis”), kita akan hidup dalam ”tyranny of the Or”, kata ahli manajemen Jim Collins. Hidup di masa kini harus mampu menggabungkan dua kekuatan besar yang kata orang bertentangan.

Kita tidak bisa terusmenerus hidup dalam pilihan-pilihan buruk yang menyengsarakan seperti yang sering saya saksikan. Seperti pilihan antara ”cantik”atau ”pintar”; ”kaya” atau ”jujur”. Pandangan-pandangan seperti itu sungguh sebuah tirani. Kita harus bisa keluar dari pandangan-pandangan sempit agar mampu menjadi bangsa yang serba ”and”. Kaya dan jujur, cantik dan pintar, lembut dan berani, serta kritis dan optimistis. Saya senang bertemu orangorang yang kritis.

Tetapi, saya lebih senang kalau mereka tidak hanya kritis dan sinis, tetapi juga optimistis. Inilah yang saya kira dibutuhkan oleh negeri ini, dari para pengamat politik, para ilmuwan, pemimpin yang tengah berkuasa, dan tentu dari para ulama dan agamawan. Optimisme adalah modal untuk berkoordinasi dan bergerak. Kalau Anda kritis dan optimistis,Anda tidak tinggal diam dalam kesedihan atau ocehan kosong. Anda akan bergerak,melakukan sesuatu.

Tidak ada komentar: